The Moon That Embraces The Sun – Episode 20 [Final]
Yoon tersenyum melihat kedua kakak beradik itu saling menghunus pedangnya. Sebelumnya ia sudah memberitahu Yang Myung kalau ia memberi kepala Hwon untuk Yang Myung.
“Apa kau ingin agar aku sendiri yang membunuh Raja?” tanya Yang Myung.
Yoon berkata itu perlu dilakukan untuk menunjukkan seberapa besar tekad Yang Myung dan juga untuk membantu semangat para prajurit pemberontak.
“Maksudmu aku harus melumuri pedangku dengan darah adikku sendiri baru kau menyetujui aku menjadi raja?”
“Sebenarnya, bukankah dinasti Joseon memang dibangun dari pertumpahan darah antar saudara?” ujar Yoon tenang.
Yang Myung berkata itu bukan ide yang jelek. Dengan senang hati ia akan menerima saran Yoon.
Yoon berteriak agar Yang Myung melakukannya.
“Semua dengar, langit menginginkan kematian Raja ini agar ia diganti oleh orang yang lebih layak. Saat ini kita akan mengikuti kehendak langit dan melenyapkan Raja yang tak becus ini! Cepat penggal kepalanya!!”
“Mengapa kau ragu?! Cepat bunuh aku!!” Yang Myung teringat perkataan Hwon saat mereka berhadapan untuk pertama kalinya. Waktu itu Hwon memberi kesempatan pada Yang Myung untuk membunuhnya dan menjadi Raja. Tapi Yang Myung tidak melakukannya. Hwon berkata Yang Myung telah menghilangkan kesempatan itu jadi jangan mencari kesempatan lain. Waktu itu Yang Myung berbalik marah memandang adiknya.
Namun itu bukanlah akhir percakapan mereka. Yang Myung berkata ia akan menemukan kesempatan lain dalam rencana pemberontakan terhadap Raja. Ia tahu Hwon hanya mengujinya untuk mengetahui reaksi Yang Myung jika pemberontakan itu terjadi.
“Katakan padaku apa yang Yang Mulia rencanakan?” tanya Yang Myung. Hmmm…Yang Myung memang pandai.
Kembali ke saat ini. Yang Myung dan Hwon saling menatap sementara Yoon terus berteriak-teriak mendesak Yang Myung memenggal Hwon.
Yang Myug berteriak mengangkat pedangnya lalu berbalik menyerang para pemberontak. Woon ikut menyerang para pemberontak. Sementara itu Hwon mendapat kesempatan untuk berlari ke tempat yang lebih aman, di depan Jongmyo.
Ternyata ini adalah rencana Hwon dan Yang Myung. Ketika Yang Myung menanyakan apa rencana Hwon, Hwon berkata ia hendak memburu orang-orang yang menyebabkan kematian Yeon-woo. Orang-orang yang menggunakan kematian Yeon-woo untuk mempertahankan kekuasaan. Orang-orang yang mengorbankan nyawa orang tidak bersalah dan hanya mementingkan kepentingan mereka daripada kepentingan negara dan rakyat. Ia akan menyapu bersih semuanya dalam satu serangan.
Yang Myung berkata orang-orang itu tidak akan diam saja. Hwon berkata ia sudah tahu. Jika ia terus menekan mereka (dengan menyelidiki kematian Yeon-woo), mereka pasti akan mengadakan pembereontakan dan mereka pasti akan mencari Yang Myung.
Yang Myung bertanya apa yang Hwon inginkan darinya. Hwon menginginkan daftar nama para pemberontak. Jika ia tidak menyingkirkan semua orang itu maka hidup Yeon-woo selamanya dalam bahaya dan negeri Joseon akan menuju kehancuran.
Yang Myung bertanya bagaimana bisa Hwon mempercayainya dan mengucapkan kata-kata yang begitu berbahaya (menantang Yang Myung membunuhnya). Hwon berkata ia bersedia menempatkan hidupnya dalam tangan kakaknya. Hwon berkata keputusan ada di tangan Yang Myung.
Yang Myung dan Woon bergerak ke depan Hwon, menghadapi para pemberontak. Yoon memerintahkan prajuritnya menyerang karena Hwon kekurangan orang. Ia hanya dilindungi Yang Myung, Woon, dan beberapa orang pengawal.
Tapi tiba-tiba muncul pasukan dari kiri kanan Jongmyo. Pasukan pemanah dan pasukan pedang. Yoon terkejut. Menteri penjilat berkata itu adalah tentara rahasia Raja (dalam novelnya, Raja Seongjo memang membentuk tentara rahasia dan Hwon mengumpulkan tentara itu kembali untuk melawan para pemberontak. Hong Gyu-tae lah yang ditugaskan mengumpulkan para tentara itu).
Tambur dipukul. Pintu gerbang dibuka dan lebih banyak lagi pasukan Hwon memasuki istana, mengepung para pemberontak. Gerbang kembali ditutup untuk mencegah para pemberontak melarikan diri.
“Perburuan dimulai!!” teriak Hwon. Tambur dipukul. Hwon menghunus pedangnya dan berteriak, “Seraaaaang!!”
Pertempuran dimulai. Woon dan Yang Myung ikut maju untuk menghabisi para pemberontak. Menyadari situasinya tak menguntungkan, Yoon berteriak ia akan memberi imbalan besar bagi mereka yang membunuh Hwon dan Yang Myung. Dengan mudah para prajurit pemberontak dikalahkan.
Dayang Ratu bergegas memasuki kamar Bo-kyung untuk memintanya mengungsi ke tempat yang aman. Tapi Bo-kyung tidak ada di kamarnya. Di mana Bo-kyung?
Sang Ratu berjalan menyeret kain putih menyusuri jalan sepi di istana. Dalam hatinya ia berkata,”Yang Mulia, Ayah…apa kalian akan bertempur sampai akhir? Aku tidak tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya tapi aku tahu poisisiku sebagai Ratu akan diambil dariku. Sejak pertama kali aku melihat Yang Mulia, hanya satu yang kuinginkan. Yaitu hati Yang Mulia. Karena itu sebagai Ratu sampai akhir, aku akan mati sebagai wanita Yang Mulia.” Bo-kyung memasang kain untuk menggantung dirinya dan tersenyum sedih.
Tentara pemberontak semakin sedikit. Ketangguhan tentara rahasia memang hebat. Para menteri yang memberontak pun mulai berjatuhan. Melihat itu Yoon memerintahkan agar Yang Myung dibunuh dan daftar nama itu harus diambil.
Na Dae-gil mengunus pedangnya tapi ketika melihat wajah garang Yang Myung, ia berbalik ketakutan. Yang Myung menebas punggungnya. Mati. Ia juga membunuh menteri penjilat.
“Daftar itu ada di tanganku. Jika kau bisa membunuhku, silakan ambil.”
Yoon ditikam dari belakang oleh seorang prajurit Hwon. Dengan marah ia berbalik dan membunuh prajurit itu. Ia melihat sekeliling. Tentaranya sudah dikalahkan. Para sekutunya telah mati. Pada akhirnya hanya ia sendiri, satu-satunya pemberontak, yang masih berdiri di arena pertempuran.
Hwon mengambil busurnya dan memanah kaki Yoon. Yoon jatuh tersungkur dan berlutut tapi ia tak mau berlutut pada Hwon. Ia mencabut panah dari kakinya, berdiri dan bergerak maju ke arah Hwon. Yang Myung tak membiarkannya. Ia berlari ke arah Yoon dan menebas perutnya. Inilah akhir hidup Yoon.
Pemberontakan berakhir. Semua merasa lega (termasuk aku karena semua masih hidup). Hwon dan Yang Myung saling tersenyum. Tiba-tiba seorang prajurit pemberontak berdiri. Hwon melihatnya dan memberi peringatan pada Yang Myung.
Yang Myung berbalik. Bukannya membunuh pemberontak itu, ia malah berbalik menatap Hwon yang tertegun.
“Yang Mulia, tolong maafkan keputusanku yang egois ini. Hanya boleh ada satu matahari di langit. Mulai sekarang tidak akan ada lagi kekacauan karena diriku.”
Yang Myung berbalik menghadap pemberontak itu dan membuang pedangnya. Hwon tertegun. Prajurit pemberontak itu melemparkan tombaknya kuat-kuat hingga tepat menembus tubuh Yang Myung.
Aaaaargh nfauhauiffn;hfuyg…awas serangan tuts Fanny!! I can’t get it!!! Pertama, Hwon memiliki panah, mengapa ia tidak langsung memanah pemberontak itu. Kedua, Woon juga tidak bergerak sama sekali. Para tentara Hwon yang begitu banyak tidak ada yang maju. Lalu kenapa pula prajurit pemberontak itu masih berdiri dan berusaha membunuh Yang Myung? Jika Yoon aku masih mengerti karena ia otak pemberontakan ini, tapi seorang prajurit biasa? Apa gunanya ia membunuh Yang Myung di saat ia sendiri terluka dan sekarat dan pemberontakannya sudah gagal??? Terakhir, ini sama saja dengan Yang Myung membunuh dirinya sendiri!! Fkugsyogbsugbsbhi benar-benar tidak masuk akal!!!
Tarik nafas dalam-dalam….hembuskan….Ok, serangan selesai. Mari kita lanjutkan…
Hwon dan Woon terpana menyaksikan Yang Myung roboh. “Kakak…Kakaaaak!!!!!” Hwon berlari menghampiri Yang Myung.
Janshil dan shaman Jang melihat ke langit dari halaman rumah mereka. Dua matahari di langit. Matahari yang satu bersinar sangat menyilaukan lalu berubah menjadi gelap bagai terkena gerhana. Matahari yang masih bersinar menutupi matahari yang sudah mati itu. Tersisa satu matahari.
“Oeraboni…,” Janshil terkejut. Matanya berkaca-kaca.
Yang Myung berbaring di pangkuan Woon. Ia memuntahkan banyak darah. Hwon duduk di sisinya.
Dalam keadaan seperti itu Yang Myung masih bercanda. Ia berkata akhirnya ia bisa berada dalam pelukan Woon dan rasanya sungguh menyenangkan. Woon menangis dan bertanya mengapa Yang Myung melakukannya.
“Akhir-akhir ini aku merasa lelah menjalani hidupku yang bebas. Benar-benar membosankan. Satu-satunya hal yang kusesali adalah aku belum melihat Yeom dalam waktu lama.”
Hwon menangis melihat kakaknya.
Yang Myung menoleh melihat adiknya.
“Yang Mulia, kenapa Yang Mulia menangis karena persoalan sepele seperti ini?”
“Jangan menangis…aku baik-baik saja…” kata Yang Myung tersenyum. Ia mengeluarkan buku berisi daftar nama pemberontak dari balik bajunya. Buku itu berlumuran darah sekarang. Ia menyerahkanya pada Hwon. Itu buku yang diminta Hwon darinya.
“Aku mengerti…aku mengerti… jadi jangan bergerak. Tabib akan segera datang,” Hwon memohon.
“Ada saatnya aku menyalahkanmu yang mendapatkan apapun yang kauinginkan. Jadi aku bahkan menginginkan kedudukanmu. Tapi dibandingkan dengan tahta Raja, teman-temanku dan adikku terlalu berharga bagiku,” Yang Myung menangis. Hwon sangat sedih mendengar kata-kata kakaknya.
Keadaan Yang Myung semakin memburuk. Ia memuntahkan banyak darah. Ia mengulurkan tangannya pada Hwon. Hwon menggenggam tangan kakaknya.
“Tolong jadilah Raja yang kuat. Selamatkan rakyat negeri ini bersama anak itu (Yeon-woo). Hamba akan melihat dari sana,” Yang Myung melihat ke langit.
Dalam hatinya ia berbicara dengan ayahnya, “Ayahanda, puteramu datang untuk menemuimu. Semoga di tempat itu ayah tidak akan menjadi Rajaku tapi hanya menjadi ayahku, agar aku bisa memperlihatkan senyum seorang anak. Satu-satunya peyesalanku adalah meninggalkan ibu yang kesepian sendirian.”
Yang Myung tersenyum pada Hwon dan mempererat genggamannya. Tiba-tiba ia merasa mendengar suara Yeon-woo remaja,
“Apa kau akan pergi ke suatu tempat?”
“Aku datang untuk melihat wajahmu terakhir kalinya sebelum aku pergi. Wajah yang jelek. Setelah aku melihat dengan baik, sekarang aku pergi.”
Kepala Yang Myung terkulai. Hwon tertegun.
“Kakak….,”panggilnya, Yang Myung diam tak bergerak. Woon menangis.
“Kak….,” panggil Hwon lagi. Ia meraih Yang Myung dalam pelukannya. Hiks…hiks….
“Kakak!! Kakak!! Buka matamu! Aku hanya memerintahkanmu untuk memberikan daftar itu. Aku tidak memerintahkanmu untuk mati!!!” seru Hwon sambil menangis, “Kaaak…Kakak!! Buka matamu…Ini…Ini adalah perintah! Apa kau mengabaikan perintah?!! Kakak…Kakak!! AAAAARRRHHH!! Kakaaak..” Hwon berteriak pilu.
Yeon-woo diantar Hong ke suatu tempat. Hong berkata ia sengaja berjalan berputar-putar untuk menghindari mereka diikuti. Sekarang mereka sudah tiba jadi Yeon-woo sudah bisa turun dari tandu. Yeon-woo bertanya mereka berada di mana. Hong berkata Hwon memerintahkannya membawa Yeon-woo ke tempat ini. Ia mempersilakan Yeon-woo untuk masuk dan beristirahat.
Yeon-woo masuk. Ia tak mengenal tempat itu. Ibu Yeon-woo berjalan menunduk ke arahnya. Ia terkejut saat ia mengangkat kepalanya dan melihat Yeon-woo.
Yeon-woo menangis melihat ibunya lagi.
“I…I…bu…”
Ny. Shin terpaku melihat puterinya yang dikiranya sudah mati berdiri di hadapannya. Saking terkejutnya, ia awalnya tidak bisa berkata-kata.
“Yeon-woo…Apa kau benar-benar Yeon-woo?” tanya Ny. Shin. Yeon-woo menangis dan mengangguk.
“Benar-benar, kau adalah Yeon-woo?” tanya Ny. Shin antara terkejut, tak percaya, sedih, dan bahagia. Ia memeluk dan membelai puterinya.
“Ibu,” Yeon-woo menangis dalam pelukan ibunya.
“Kau masih hidup…kau benar-benar masih hidup..”
“Aku minta maaf, Ibu…”
Ny. Shin melepaskan pelukannya dan memandangi puterinya. Ia bertanya apakah ini mimpi atau kenyataan. Ia tak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Ia tak menyangka bisa bertemu puterinya kembali. Karena shock, ibu Yeon-woo terduduk lemas di tanah. Ia terus memeluk Yeon-woo seakan takut kehilangannya lagi.
Yeom keluar dari rumah. Ia melihat Yeon-woo. Ia terlihat gembira saat melihat Yeon-woo. Yeon-woo memanggil kakaknya. Tapi Yeom tidak berani memandang wajah Yeon-woo. Ia mengajak adiknya membawa ibunya ke dalam.
Ny. Shin terus menangis sambil memegangi tangan Yeon-woo. Yeom keluar untuk membiarkan ibunya berbicara dengan Yeon-woo. Ibu Yeon-woo berkata belum lama ini ia melihat seorang gadis yang mirip dengan Yeon-woo. Ia tidak tahu apa kesalahan gadis itu tapi gadis itu dicaci maki oleh banyak orang. Hatinya terluka saat melihat gadis itu dilempari batu.
Yeon-woo tahu gadis yang dilihat ibunya adalah dirinya. Ia meminta ibunya beristirahat, mereka bisa membicarakannya nanti. Tapi ibu Yeon-woo tidak au. Ia takut Yeon-woo menghilang lagi saat ia tidur. Yeon-woo meyakinkan ibunya hal itu tidak akan terjadi. Kali ini, ia tidak akan ke mana-mana tanpa persetujuan ibunya.
Ibunya mengangguk. Ia berkata ia tidak mengerti apa yang terjadi. Selama 8 tahun ini, puteri yang merawatnya dan selalu berada di sisinya. Tapi ternyata ia terlibat dalam kematian Yeon-woo. Ia tidak bisa mempercayainya.
Yeon-woo bertanya apakah kakaknya yang memberitahu. Ny.Shin berkata walau Puteri melakukan kejahatan besar tapi sekarang ia sedang mengandung darah daging keluarga Heo. Bagaimana bisa Yeom bersikap seperti ini pada Min-hwa? Dengan kata lain Ny. Shin sudah memaafkan Min-hwa.
Yeon-woo keluar menemui kakaknya. Ia bertanya apakah Yeom benar-benar tidak mau melihat wajahnya. Jika Yeom terus menyalahkan dirinya sendiri, ia akan menyesal karena ia telah hidup. Yeom menangis.
“Apakah kakak benar-benar ingin aku berpikir begitu?”
Yeom membalikkan tubuhnya tapi ia masih tidak berani menatap Yeon-woo. Ia berkata ia telah melakukan dosa besar pada Yeon-woo. Yeon-woo berkata Yeom tidak berdosa apapun padanya. Yeom berkata semua ini terjadi karena dirinya.
“Tolong jangan berkata begitu, berbahagialah karena aku tetap hidup.”
“Yeon-woo…,” Yeom memeluk adiknya. “Terima kasih karena kau tetap hidup.”
“Aku juga berterimakasih karena kakak hidup seperti sekarang.” Akhirnya keluarga Heo berkumpul kembali.
Min-hwa terus memandangi baju yang dijahitnya untuk bayinya. Terdengar ketukan di pintu.
“Sudah kubilang aku tidak mau makan,” ujar Min-hwa. Terdengar suara pintu dibuka. Min-hwa mengomel, ia mengira dayangnya yang masuk.
Ia terkejut saat melihat Yeon-woo membawa baki makanan untuknya. Yeon-woo meletakkan baki itu di meja dan duduk di hadapan Min-hwa. Ia bertanya mengapa Min-hwa tidak mau makan. Min-hwa berkata ia tidak berhak makan.
“Jadi kau ingin mati bersama anakmu?”
“Tidakkah kau berharap aku mati?”
“Tidak, aku berharap Puteri tetap hidup.”
Min-hwa menatap Yeon-woo tak percaya. Ia mencoba membunuh Yeon-woo dan sekarang Yeon-woo menginginkannya tetap hidup?
“Puteri mencoba untuk membunuhku tapi sekarang aku masih hidup. Ada saatnya aku marah dan mengharapkan Puteri mati. Namun karena kehadiran Puteri, ibuku bisa tersenyum kembali dan kakakku mendapat seorang anak.”
Min-hwa masih tak percaya. Ia menuduh Yeon-woo munafik. Ia minta Yeon-woo berteriak padanya dan menyuruhnya mati, dengan demikian ia baru bisa berlutut memohon maaf pada Yeon-woo.
“Apa Puteri membutuhkan pengampunanku? Benar, aku akan memaafkan Puteri. Demi kakak dan Yang Mulia yang terluka karena perbuatan Puteri. Demi mereka berdua yang meminta maaf menggantikan Puteri, dan mereka menanggung rasa bersalah yang tidak sepantasnya mereka tanggung. Demi mereka dengan senang hati aku akan memaafkan Puteri. Karena itu, tetaplah hidup,” ujar Yeon-woo tegas.
Min-hwa menangis mendengar kata-kata Yeon-woo. Ia mungkin baru menyadari benar akibat perbuatannya, pada Yeom dan pada Hwon..
“Hiduplah dan mintalah maaf untuk diri Puteri sendiri. Jalanilah hukuman untuk menebus kesalahan Puteri. Yang Mulia dan kakakku tidak seharusnya merasa bersalah karena Puteri. Puteri harus melakukannya sendiri.” Yeon-woo menyodorkan sendok pada Min-hwa. Ia meminta Min-hwa tetap hidup untuk menebus kesalahan yang telah dilakukannya.
Min-hwa menangis dan pelan-pelan mengambil sendok dari tangan Yeon-woo. Ia menyendok makanan dengan tangan gemetar.
“Terima kasih karena kau tetap hidup,” akhirnya ia berkata.
“Kalau begitu berikan aku alasan untuk mengatakan hal yang sama,” ujar Yeon-woo menahan tangisnya. Min-hwa mulai makan sambil menangis.
Selir Park memanggil-manggil puteranya. Tubuh Yang Myung terbaring kaku di kuil tempat ibunya tinggal. Woon yang membawanya ke sana.
“Pangeran Yang Myung, berhentilah bercanda dan buka matamu. Pangeran, jangan tidur lagi. Bukalah matamu dan lihat ibu, ” ujar Selir Park sambil membelai wajah puteranya.
“Siapa yang sudah membohongiku? Tidakkah kaulihat ia sedang tersenyum? Bukankah ia masih hidup? Pangeran, kumohon bangunlah. Mengapa kau bercanda? Kau tidak bisa seperti ini, kau akan menakuti ibumu… Pangeran Yang Myung…” Selir Park menangis. Ia terus mengguncang tubuh Yang Myung dan memintanya bangun.
Woon tak tahan lagi dan pergi keluar. Ia melihat ke langit. Tiba-tiba terdengar suara Yang Myung. Woon membayangkan Yang Myung ebrjalan ke arahnya.
“Lihat..bahkan hari ini wajah ksatria Woon pun terlihat sedih,” kata Yang Myung sambil tersenyum.
“Pangeran Yang Myung..”
“Tidak mungkin, baru sebentar saja kau sudah merindukan aku?”
Woon tersenyum sedih. Yang Myung tertawa.
“Apa Tuan bahagia?”
“Tentu saja bahagia. Aku tidak perlu berpura-pura tersenyum lagi. Dan lagi sebenarnya aku tidak suka minum, jadi aku tidak perlu memaksa diri minum-minum lagi. Aku bukan lagi ancaman bagi Yang Mulia. Dan yang paling penting, aku bisa menyimpannya (Yeon-woo) dalam hatiku selamanya. Apa kau tahu betapa menyenangkannya perasaan itu?”
“Bolehkan hamba bertanya satu hal?”
“Silakan bertanya,” Yang Myung mengangguk.
“Apakah sampai sekarang Tuan masih menganggap hamba sebagai teman?” tanya Woon sedih.
“Teman? Kata “teman” selalu terdengar indah.”
“Mohon jawab pertanyaan hamba. Apakah tuan datang sebagai teman?”
Yang Myung tersenyum, “Tentu saja. Sampai sekarang dan seterusnya kau adalah teman baikku.”
Woon terharu. Saat ia menoleh lagi, Yang Myung telah menghilang.
Tubuh Bo-kyung terbaring di kediamannya. Ia sudah tak bernyawa lagi dan matanya terbuka (makanya dalam novelnya Bo-kyung dikatakan menjadi hantu perawan yang penasaran. Untung ngga ada dalam dramanya ya :p). Hwon duduk di sisinya dan menutup mata Bo-kyung.
Hwon berjalan lunglai kembali ke kediamannya. Yeon-woo sudah menunggunya dengan wajah khawatir. Yeon-woo menghampiri Hwon. Hwon tak tahan lagi dan menangis dalam pelukan Yeon-woo. Ia menumpahkan seluruh kesedihannya. Kesedihan atas begitu banyak nyawa yang hilang. Neneknya, kakaknya, dan Bo-kyung. Yeon-woo ikut menangis bersama Hwon.
Hari baru bagi Joseon. Banyak tempat kosong di aula istana. Hwon berkata mereka harus memulihkan keadaan negeri yang tidak stabil karena peristiwa yang baru terjadi. Mereka harus memperkuat ideologi yang benar untuk negeri ini. Ia juga akan menghukum orang yang bersalah sesuai dengan kesalahan yang dilakukan dan melepaskan orang yang tidak bersalah. Hwon mengumumkan hukuman bagi yang bersalah.
Puteri Min-hwa diturunkan dari statusnya dan dihukum menjadi budak. Hukuman itu akan dijalankan setelah Min-hwa melahirkan. Setelah melahirkan, puteri Min-hwa akan dikirim keluar kota dan dijadikan budak.
Heo Yeom sebagai suami Min-hwa juga harus dihukum. Ia diperintahkan bercerai dari Min-hwa. Posisinya sebagai uibin dicopot dan harta yang diperoleh dari posisi uibin harus dikembalikan pada negara. Statusnya dikembalikan pada status Yeom sebelum menikah dengan Min-hwa. Yeom diperintahkan menjadi pejabat. Ini sih bukan hukuman ya^^
Shaman Jang seharusnya dihukum penggal tapi karena ia telah melindungi Puteri Mahkota, hukuman itu akan dipikirkan kembali sampai selesainya upacara ritual (mungkin upacara ritual untuk orang-orang yang telah mati).
Shaman Jang memerintahkan para shaman di Seongsucheong untuk mempersiapkan ritual yang akan dijalankannya. Ia berkata kali ini ia akan melakukannya sendiri.
Janshil meminta shaman Jang membawanya. Shaman Jang berkata Janshil harus tinggal di Seongsucheong dan melindungi tempat itu. Janshil menggeleng. Seul tidak ada lagi dan ia tidak bisa menemui Yeon-woo dengan bebas. Yang Myung juga sudah tiada. Ia meminta shaman Jang tidak pergi. Jangan meninggalkannya sendirian.
Shaman Jang terharu dan sedih melihat Janshil. Janshil menangis. Ia sepertinya mengetahui shaman Jang tidak akan kembali lagi.
Shaman jang menjalankan ritual. Ia menari.
“Seul, Ibu Suri, Ratu, Pangeran Yang Myung, Sarjana Heo. Aku membantu kalian semua ke sana. Langit, sebagai orang berdosa, aku memberikan sisa hidupku sebagai persembahan. Kumohon bersihkan semua kemarahan dan energi jahat dari negeri ini. Aku akan menanggung semua kejahatan negeri ini di dalam tubuhku dan membawanya bersamaku menuju dunia berikutnya. Jiwa-jiwa yang malang, lepaskan kemarahanmu dan beristirahatlah dengan tenang.”
Shaman Jang mengakhiri ritualnya dengan mengangkat kedua tangannya ke langit. Ia seperti tercekik.
“Akhirnya di langit ada sebuah matahari yang penuh harapan. Dan hanya ada satu bulan. Aku harap mereka bisa membuat rakyat negeri ini bermandikan sinar terang. Aku harap semua orang bisa melepaskan kesedihan mereka dan meraih kebahagiaan. Aku bedoa untuk ini.”
Shaman Jang tersungkur ke tanah. Ia terlihat kesakitan. Janshil bergegas menghampiri shaman Jang. Ia memanggil ibu angkatnya tapi shaman Jang sudah mati. Janshil menangis sedih. Ia benar-benar ditinggal sendirian.
Dan sesuai doa shaman Jang, kebahagiaan pun dimulai.
Hwon dan Yeon-woo menikah. Pada malam pernikahan, Hwon terlihat sangat tak sabar melihat dayang menuang teh dengan sangat…sangat lambat. Ia merebut teko teh dari dayang itu dan menyuruh para dayang keluar. Haha…ada yang ngga sabar rupanya.
Dayang itu protes, untuk malam pernikahan ada prosesinya. Hwon tidak mau tahu. Ia menyuruh mereka keluar.
Dayang itu bingung. Ia berkata kalau begitu ia akan membantu melepas jubah Hwon. Hwon mengelak dan memarahinya.
“Kau mau menaruh tanganmu di mana? Bahkan Ratu belum menyentuhnya. Ratu akan membantuku jadi kalian boleh pergi.”
Para dayang itu pun keluar. Yeon-woo menarik nafas gugup. Ia terus menunduk. Hwon menatap Yeon-woo dan memintanya mengangkat wajahnya karena semua orang sudah keluar. Yeon-woo mengangkat wajahnya. Hwon menghela nafas lega (akhirnyaaaa^^).
Hwon menyingkirkan meja dan teko teh. Ia mengulurkan tangannya pada Yeon-woo. Yeon-woo menyambutnya.
Siuuuut…Hwon menarik Yeon-woo bergeser mendekatinya. Hwon terus menatap Yeon-woo hingga Yeon-woo salah tingkah. Hwon meraih Yeon-woo dalam pelukannya dan membaringkannya.
“Siapa kau? Cepat katakan! Siapa kau sebenarnya?” Hwon menanyakan pertanyaan yang sama seperti ketika ia pertama kali mengetahui Yeon-woo berada di sisinya sebagai Wol.
“Hamba adalah wanita Yang Mulia. Dan ibu negeri ini. Heo Yeon-woo.”
Hwon tersenyum gembira.
Waktupun berlalu. Di istana, dua anak kecil bermain dengan gembira. Yeon-woo sedang minum teh dengan Yeom sambil memperhatikan anak-anak itu bermain. Satu putera Yeom dan satu lagi Putera Mahkota.
Yeon-woo mencoba membicarakan Min-hwa dengan kakaknya. Ia meminta Yeom memaafkan Min-hwa. Min-hwa sudah menebus kesalahannya dan Hwon juga sudah mengampuninya. Dayang Min yang selama ini setia membantu Puteri baru saja meninggal. Artinya Min-hwa sendirian di jalan. Yeon-woo meminta Yeom tidak lagi merasa bersalah padanya. Ia berkata yang terpenting adalah putera Yeom yang membutuhkan seorang ibu.
Terdengar suara tangisan. Putera Mahkota terjatuh. Yeon-woo segera menghampiri puteranya. Dengan khawatir ia bertanya apakah Putera Mahkota baik-baik saja. Ia memuji putera mahkota anak yang bersemangat. Putera Mahkota tersenyum bangga. Anak Yeom melihat Putera mahkota dan ibunya dengan sedih (dan sedikit iri).
Hwon menghampiri mereka. Putera Mahkota segera menghampiri ayahnya dengan gembira. Hwon bertanya apakah Putera Mahkota senang bermain bersama Heoi (putera Yeom). Putera mahkota mengangguk lalu ia segera beralih pada Woon dan memintanya mengajarinya ilmu pedang.
Hwon tersenyum, anaknya lebih suka bersama Woon daripada bersamanya. Woon membawa Putera Mahkota untuk berlatih. Hwon mengusulkan agar Heoi ikut belajar ilmu pedang bersama Putera Mahkota, tapi Heoi berkata ia lebih suka membaca buku. Hehe…persis ayahnya^^
Hwon tertawa. Heoi benar-benar pintar dan senang belajar seperti ayahnya. Sebaliknya Putera Mahkota ceria dan senang bermain, mirip Pangeran Yang Myung. Bahkan ia juga menyukai Woon seperti Yang Myung.
Yeom menghibur Hwon, adik kakak biasanya mirip karena itu pasti mirip juga dengan Hwon. Hwon dan Yeon-woo tersenyum.
Yeom berjalan pulang bersama puteranya. Ia berlutut dan bertanya pada Heoi apakah ia merindukan ibunya. Heoi bertanya mengapa ayahnya tiba-tiba bertanya begitu. Yeom berkata ia melihat Heoi cemburu melihat kedekatan Putera Mahkota dengan ibunya. Ia berkata Heoi boleh mengatakan yang sejujurnya tapi Heoi hanya menunduk sedih.
Beberapa shaman melewati tempat itu. Salah satuya Janshil. Ia terkejut melihat Yeom. Ia bertanya apakah Yeom kakak Ratu. Apakah Yeom mengenal Seol?
Yeom bertanya apakah Janshil mengenal Seol. Janshil berkata Seol setiap hari menanyakan perkataan yang sama padanya.
“Apakah ia bahagia? Apakah Tuan Muda bahagia? Ia harus bahagia.”
Yeom termenung mendengar hal itu. Janshil berkata setiap hari Seol menanyakannya. “Apakah ia bahagia?”
Hwon membaca laporan negara di tempat biasa. Di kediaman Yeon-woo. Yeon-woo menatap Hwon. Ia berterima kasih karena Hwon telah mengampuni Min-hwa (hukumannya dihentikan). Hwon berkata Yeon-woo tidak perlu berterima kasih untuk itu.
“Walau Yang Mulia sudah menolaknya beberapa kali tapi hamba terus memintanya. Mungkinkah hamba telah membuat Yang Mulia marah?” tanya Yeon-woo khawatir.
Hwon berkata Yeon-woo mendesaknya demi kepentingan diriya dan Yeom jadi bagaimana bisa ia marah.
Yeon-woo tersenyum. Hwon berkata sebaliknya ia yang harus berterima kasih pada Yeon-woo.
“Yang Mulia…”
“Katakan saja.”
“Sebenarnya dengan hati penuh rasa terima kasih, hamba sudah mempersiapkan hadiah di sini untuk Yang Mulia,” ujar Yeon-woo.
Hwon teringat sesuatu, “Hadiah?”
“Benar,” jawab Yeon-woo tersenyum malu (sepertinya ia berencana membalas Hwon dengan berkata hadiahnya adalah dirinya^^).
Hwon tiba-tiba berdiri dan berkata ia sangat sibuk hari ini dan banyak laporan yang harus ia baca. Jadi ia harus pergi sekarang.
“Tapi laporannya kan di sini,” ujar Yeon-woo bingung melihat sikap Hwon.
“Ah, benar juga. Laporan ini seharusnya dibaca di kediamanku. Sebaiknya Ratuku beristirahat lebih awal.”
Hwon bergegas pergi tanpa mendengar jawaban Yeon-woo. Para dayang berkasak-kusuk. Mereka juga menyadari keanehan sikap Hwon. Biasanya Hwon tidak akan pergi dari kediaman Ratu sampai kasim Hyung memanggilnya. Mereka bertanya-tanya apakah Hwon sudah mulai bosan dan menyimpan wanita lain di kediamannya.
Hwon kembali ke kediamannya. Ia duduk dan berbicara dengan seseorang.
“Apakah kau sudah siap?”
“Iya.” Suara seorang wanita.
Hwon menyuruhnya keluar. Para dayang menggeser pembatas di belakang Hwon dan seorang wanita tua keluar dari kamar tersembunyi di belakang Hwon.
Kasim Hyung memperkenalkan wanita itu sebagai guru gayageum no.1 di Joseon (alat musik petik tradisional Korea, bagi yang sudah menonton Heartstrings pasti tidak asing lagi dengan alat musik yang biasanya dimainkan Gyu-won ini^^).
Hwon berkata ia ingin mempertunjukkan kemampuan musiknya sebagai hadiah untuk ulang tahun Yeon-woo. Waktunya tidak lama lagi tapi ia orang yang cepat belajar. Itu menurut Hwon, tapi untuk urusan musik ternyata dia sangat payah hehehe (padahal di novelnya Hwon bisa bermain gayageum dengan baik).
Ia memetik gayageum dengan sembarangan. Gurunya mana berani memarahi raja jadi ia cuek terus memberikan pelajaran sementara kasim Hyung mengerutkan kening mendengar betapa tidak sinkronnya musik Hwon dan musik gurunya.
Hwon kesal karena ia tidak bisa memainkannya dengan baik. Ia melemparkan gayageum itu dan meminta diberi yang baru karena menurutnya gayageumnya rusak.
“Ijinkan hamba mengetesnya,” kata kasim Hyung. Hwon tersenyum meremehkan. Kasim Hyung memetik gayageum itu.
Ternyata ia memainkannya dengan sangat baik bahkan lebih hebat dari guru gayageum Hwon. Hwon melongo.
Kasim Hyung berkata tidak ada masalah dengan gayageumnya. Hehe berarti masalahnya adalah pemetiknya, yaitu Hwon.
“Kapan kau mempelajari gayageum?” tanya Hwon.
“Hamba tidak pernah mempelajarinya. Saat Yang Mulia mempelajarinya, hamba duduk dan memperhatikan. Hamba berlatih untuk melewati waktu saat hamba sedang bosan.” Kasim Hyung meniup jarinya. Ternyata kasim Hyung jenius musik.
“U…untuk melewati waktu…,” gumam Hwon merasa kalah. Ia menyuruh kasim Hyung menghadap tembok. Ckckck…kebiasaan lama tak berubah juga ya.
Yeom dan puteranya sedang berjalan-jalan. Yeom merasa diikuti tapi saat ia berbalik tidak ada siapa-siapa di sana. Ia kembali berjalan. Min-hwa yang mengikuti mereka. Ia muncul dari balik tembok dan menangis memperhatikan mereka yang berjalan menjauh.
Min-hwa berbalik dan berjalan tak tentu arah. Namun ia melihat Yeom dan puteranya berdiri menunggunya. Ia terkejut.
“Yang Mulia sudah melepaskan aku dari status budak tapi aku tidak punya tempat tujuan,” Min-hwa menangis,” Aku hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir….aku sangat merindukanmu.. Aku hanya ingin melihatmu dari jauh lalu pergi.” Yeom diam tak mengatakan apapun.
“Ibu?” tanya Heoi. Wajah Min-hwa berubah cerah saat melihat puteranya dan ingin mendekatinya. Tapi ia menyadari ia tidak berhak berada di sana.
“Aku tidak akan datang lagi. Aku tidak akan bersembunyi dan diam-diam memperhatikan kalian lagi. Jadi, tolong maafkan aku untuk kali ini saja.” Min-hwa menyedihkan banget ya T_T
Min-hwa membungkuk memberi hormat lalu berbalik pergi. Yeom meneteskan air mata dan berlari memeluk Min-hwa. Min-hwa terkejut.
“Kupikir, kau tidak akan pernah memaafkanku.”
“Aku tidak ingin memaafkanmu. Aku mencoba menghukum diriku sendiri dengan tidak memaafkanmu. Tapi sekarang aku ingin bahagia. Demi putera kita dan demi seseorang yang sudah tiada tapi masih mendoakan kebahagiaanku.”
Min-hwa menangis dan memeluk puteranya. Yeom memeluk keduanya. Pertemuan yang mengharukan.
Hwon terus belajar gayageum bahkan di atas meja kerjanya. Hong yang memperhatikannya diam-diam tersenyum. Sepertinya Hong sudah naik pangkat menjadi menteri.
Hwon bertanya apakah Hong sudah mengerjakan tugas yang ia berikan. Hong berkata ia sudah melakukan kehendak Ratu untuk membatalkan pesta ulang tahun Ratu dan mengirim uangnya ke Hwal In-seol. Perbuatan Ratu menjadi teladan hingga banyak bangsawan yang ikut menyumbang untuk Hwal In-seol.
Hwon terus menekan-nekan dan memetik meja dengan serius hehe….Hong memanggilnya. Ia bertanya apa ada hal yang menyusahkan Hwon. Hwon tersadar, ia segera melipat tangannya dan berkata tidak ada apa-apa. Jangan-jangan Hong berpikir Hwon sudah gila :p
Yeon-woo merasa bosan dan kesepian tanpa kehadiran Hwon. Seorang dayang menemuinya dan memberitahu kalau Hwon memanggil Yeon-woo ke Istana Bulan Perak.
Yeon-woo pergi ke sana. Yeon-woo tersenyum melihat Hwon duduk dengan gayageum di atas panggung kecil. Dayang menyediakan bangku agar Yeon-woo bisa duduk.
“Selamat ulang tahun,” ujar Hwon.
Yeon-woo tersenyum terharu.
Hwon berkata ia mempersiapkan konser musik untuk Ratunya. Walau keterampilannya bukan yang terbaik, ia berharap Yeon-woo menikmatinya.
Hwon mulai memainkan gayageumnya. Entah keajaiban entah Hwon memang pintar tapi Yeon-woo terpesona dengan permainan musik Hwon. Hwon sangat bersemangat memetik gayageum hingga satu senarnya putus. Hwon meringis.
Yeon-woo cepat-cepat menghampirinya dan memeriksa tangan Hwon dengan khawatir. Tapi tunggu dulu, kenapa gayageumnya masih berbunyi? Hwon tahu ia sudah tertangkap basah.
Hwon melirik reaksi istrinya. Yeon-woo tersenyum geli dan hendak kembali ke bangkunya tapi Hwon menahannya.
“Tolong lihat padaku saja. Hanya padaku.”
Yeon-woo tersenyum.
“Hadiahku tidak berhasil dengan baik. Apa kau kecewa?” tanya Hwon.
“Tidak, sungguh mempesona.”
“Aku tidak bermaksud untuk mempesonamu,” ujar Hwon. Yeon-woo tertawa.
Hwon berkata ia sudah mempersiapkan hadiah lain untuk Yeon-woo.
“Apakah akan ada kelopak bunga berjatuhan dari atap?” tanya Yeon-woo. Hwon berkata kasim Hyung sudah terlalu tua untuk naik ke atap. Yeon-woo tertawa.
“Kalau begitu, apakah akan ada kembang api bertebaran di langit?”
Hwon tertawa.
“Untuk menyenangkan seorang wanita bagaimana bisa aku mengunakan uang rakyat? Tapi…aku akan memberimu yang lebih baik dari semuanya itu.”
Hwon mencondongkan tubuhnya dan mencium bibir istrinya. Dari kejauhan, kasim Hyung memainkan gayageum dengan penuh perasaan.
T A M A T
sumber: patataragazza.blogspot.com